Sabtu, 27 September 2014

Membuat Sabun Sendiri, Mengapa Tidak?

"Mengapa harus membuat sabun sendiri?" Begitu tanya seorang kawan suatu hari.

Saya berpikir sejenak, sebelum menjawab bijak. "Kulit saya gampang kena alergi. Sedikit di udara berdebu, sudah gatal-gatal. Penampilannya pun bersisik, mirip ikan asin."

Itu baru soal sabun mandi. Saya juga alergi jika memakai sabun cuci secara terus-menerus. Tangan jadi kasap, kadang melepuh jika mencuci pakai tangan terlalu banyak. Itu sebabnya saya beralih ke lerak kemudian, sebelum dapat membuat sabun cuci kelapa.
minyak kelapa, minyak jarak, dan sawit curah
Banyak hal yang menyebabkan alergi. Selain udara, debu, serbuk tanaman, juga paparan bahan kimia yang berlangsung terus-menerus.

Sabun buatan pabrik yang harganya murah dibuat tak semata berbahan minyak nabati atau lemak hewani, tapi juga dicampur dengan bahan kimia lainnya seperti parfum, bahan pengawet, pewarna kimia dan lainnya. Umumnya sabun pabrikan tak memanfaatkan soda api, namun sodium lauret sulfat yang sulit diuraikan oleh lingkungan. Itu sebabnya saya beralih ke sabun nabati -berbahan minyak tumbuhan-, dan memilih membuatnya sendiri karena harga sabun nabati murni di pasaran cukup mahal.

Membuat sabun sendiri itu mudah, asal mau tekun dan sabar. Apalagi Indonesia kaya dengan minyak nabati. Minyak sawit yang biasa dijadikan minyak goreng misalnya, harganya sekitar Rp.12.000/liter yang ber-merk, dan Rp.10.500/liter untuk jenis minyak curah.

Minyak kelapa di masa lalu pernah berjaya seantero nusantara. Menjadi bahan memasak sekaligus obat tradisional yang penting. Bukankah kelapa mirip alang-alang saja yang dapat tumbuh di semua pulau di Indonesia? 

Kini, minyak kelapa lebih mudah dijumpai di desa-desa, sebagai produksi tangan (handmade). Kawan saya Mia, menemukan minyak kelapa di Pasar Demangan, dalam ukuran botol mineral 1,5 liter seharga Rp.20.000. Padahal minyak kelapa produksi pabrik seperti merk Ikan Dorang Spesial atau Harco harganya mencapai Rp.22.000 ke atas per liter.

Bahan sabun utama lainnya adalah minyak zaitun. Sayangnya hampir semua minyak zaitun yang beredar di pasaran berasal dari impor, entah impor dari Spanyol, Arab, maupun Mediterania. Harga minyak zaitun pun cukup mahal, tergantung merk dan kemasan. Minyak zaitun virgin misalnya, per liternya mencapai Rp.175.000. Ada juga minyak zaitun kemasan 250ml yang harganya sekitar Rp32.000. Minyak zaitun yang dikeluarkan produk kosmetik tertentu lebih murah lagi harganya, namun sudah dicampur dengan pengawet dan parfum. Jika hendak membuat sabun, gunakanlah minyak zaitun untuk memasak, bukan produk kosmetik tertentu.
minyak wijen merk lokal

Sebagai bahan tambahan, dapat digunakan minyak lokal lainnya. Misalnya minyak kacang, minyak kemiri, minyak jarak, minyak wijen, juga lemak coklat dan lemak kopi. Saya sarankan, dan selalu saya usahakan, untuk memanfaatkan minyak lokal (kecuali zaitun). Bukan sok cinta produk Indonesia, tapi demi mempermudah dan menekan ongkos produksi, sekaligus membuat para penggiat minyak bersemangat.

Oya, ada yang bertanya, bolehkan memanfaatkan minyak bekas atau kedaluarsa? Khusus minyak jelantah, saya baru menguji yang bekas menggoreng bukan ikan atau hewan, yang baunya belum 'aduhai'. Sedang minyak kedaluarsa (buat makan), sah-sah saja dijadikan bahan sabun.  Kecuali kalau sabunnya nanti dimakan :P

Tidak ada komentar: