Ketika tinggal di Munduk, seorang kawan meminta saya membuatkan sabun untuk penginapan miliknya. Umumnya sabun yang disediakan di hotel, homestay, atau villa, bentuknya kecil dan kemasannya luks. Namun ketika dibuka, aromanya menyengat. Ciri khas sabun murahan yang dibuat dari minyak sawit dan parfum murahan. Jika mandi memakai sabun semacam ini, coba goreskan kuku ke kulit setelah kering, pasti akan tercipta garis putih. Sabun ini membuat kulit harum, namun kering dan bersisik.
Sabun ala penginapan memiliki ciri khusus. Ukurannya kecil, sekitar 10-15 gram bobotnya, karena ditujukan buat pemakaian jangka pendek, misalnya 1-2 hari. Tak jarang, usai dipakai, sabun pun dibuang. Kerap malah tamu ogah melirik sabun 'murahan' ini. Mereka memilih membawa sabun sendiri. Namun ada juga tamu yang hobi mengantongi serta membawa pulang sabun yang diberikan hotel (termasuk saya, haha). Sebagai kenang-kenangan.
Kondisi di atas menantang saya untuk membuat sabun dari bahan lokal, yang layak pakai, tidak murahan, tidak membuat kulit kering, cocok menjadi buah tangan tamu yang menginap, serta membuat mereka sayang pada sabun tersebut, sehingga mau memakainya sampai titik penghabisan.
Di Munduk, masih ada orang yang membuat minyak kelapa sendiri. Tak banyak memang. Minyak kelapa wangi lalu jadi satu bahan sabun. Munduk dikenal akan perkebunan kopi dan cengkeh. Bubuk kopi dan bunga cengkeh pun masuk dalam daftar sabun.
Di Munduk, masih ada orang yang membuat minyak kelapa sendiri. Tak banyak memang. Minyak kelapa wangi lalu jadi satu bahan sabun. Munduk dikenal akan perkebunan kopi dan cengkeh. Bubuk kopi dan bunga cengkeh pun masuk dalam daftar sabun.
Oya, di Buleleng, ada pabrik pengolahan coklat berbahan coklat dari perkebunan sekitar. Sungguh suatu kebetulan. Sayangnya lemak coklat lokal ini tak berbau 'coklat' seperti produksi pusat penelitian kopi dan kakao Jember. Tapi hal ini bisa diakali dengan memanfaatkan daun pandan sebagai penambah aroma.
Ada 8 jenis sabun yang berhasul dibuat, yaitu:
1.sabun kakao-zaitun
2.sabun rempah-zaitun
3.sabun kokoa-pandan
4.sabun butter-pandan
5.sabun kokoa-butter-pandan
6.sabun jelantah-vanili
7.sabun jelantah-kopi
8.sabun re-batch, daur ulang dari potongan sabun-sabun di atas
8.sabun re-batch, daur ulang dari potongan sabun-sabun di atas
Sabun jelantah jelas berbahan minyak goreng (sawit) bekas menggoreng kentang. Sabun ini saya maksudkan untuk mencuci tangan, lap, atau cuci piring di restoran. (Ini rencana saya, tapi biasanya karyawan restoran lebih suka pakai sunlight cair yang wangi itu :D )
Dari beragam sabun mandi yang dibuat, sabun kokoa-pandan tampaknya paling pas komposisinya. Cepat memadat, mudah diiris hingga kecil-kecil, harum pula baunya. Apalagi semua bahan sabun ada di sekitar.
Sabun rempah-zaitun menjadi favorit saya. Bukan saja karena memanfaatkan pewarna dari kulit kayu secang, atau rempah seperti cengkeh dan biji pala, sabun ini juga menghangatkan kulit. Munduk berhawa dingin. Mandi dengan air panas mirip kemewahan. Jadi mandi dengan sabun yang menghangatkan tubuh akan sangat bermanfaat. Namun minyak zaitun tidaklah murah.
Sabun buatan sendiri akan menjadi nilai plus penginapan seperti hotel, losmen, atau homestay lokal. Apalagi mayoritas wisatawan di Munduk berasal dari negara Eropa atau Amerika yang begitu peduli akan isu lingkungan dan segala hal yang berbau alami.
Masalahnya adalah, apakah membuat sabun sendiri ini akan bisa terus dilakukan di sini. Membuat sabun itu 'membosankan, 'tidak menarik', dan 'sepele, gampangan'. Begitu selalu anggapan awam. Banyak pelaku wisata lokal yang tidak menyadari akan potensi alam daerahnya hingga segepok dolar dibentangkan di depan matanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar