Jumat, 03 Oktober 2014

Selimut untuk Sabun

'Kamu punya plastik bekas wadah biskuit, minuman ringan seperti sari apel atau agar, atau bekas makanan?"

"Punya."

"Bagus. Itu bisa buat cetakan sabun. Juga kardus bekas bolam, odol, teh, dan sebangsanya. Oya, ada kardus sepatu nggak?"

"Nanti saya cari di gudang."

"Oke. nanti buat wadah pengeraman cetakan sabun. Penting itu."

"Oke, nanti saya cari. Apalagi?"

"Ada gombal bekas, kain bekas, bisa selimut atau pel-pelan."

"Ada, banyak."

selimut memegang peranan penting dalam pembuatan sabun :D

Ketika sambang kawan yang ngebet belajar membuat sabun itu, saya melongo. Tak ada wadah plastik bekas biskuit atau makanan ringan. Akhirnya kita memakai plastik wadah bumbunya. Untung dia memiliki kardus sepatu, yang dapat dimasuki si cetakan sabun itu. 

Namun giliran membungkus kotak sabun, dia hanya menyodorkan kain tipis. Ya sudah. Saya masukkan saja kardus itu dalam sarung tipis, lalu diletakkannya di lantai bawah meja tulis. Sehari usai pembuatan sabun, si kawan lapor bahwa sabun belum seluruhnya padat. Hari kedua, ketiga, pun sama. 

"Masih ada minyak yang menggenang di atas cetakan," lapornya.
"Ya sudah, minyak yang menggenang itu alirkan aja ke gelas. Lalu tunggu sabun memadat, terus cepat diiris-iris dan diangin-anginkan," saran saya.

Andai sabun yang dibuatnya berbahan cocoa butter, pasti saya sarankan untuk dimasukkan kulkas saja. Tapi karena berbahan utama minyak kelapa dan minyak sawit, sebaiknya memang dibiarkan mengeras dengan sendirinya.

Kemarin kembali saya membuatkan teman dua jenis sabun di Munduk. Sabun coklat berbahan 50% minyak zaitun dan lemak coklat. Sabun kedua adalah sabun zaitun-rempah yang berbahan lebih 60% minyak zaitun, extra virgin olive oil. Jadi minyak zaitun kelas satu, yang perliternya bisa Rp175.000 atau lebih harganya. 

Sepengalaman saya, membuat sabun berbahan utama minyak zaitun akan lama waktu pembekuannya. Jadi saya bungkus karton pembungkus cetakan dengan selimut tebal. Hal yang sama saya lakukan dengan sabun coklat. Lalu kedua sabun saya letakkan di atas kayu, bukan menempel di lantai. 

Enam jam kemudian, saya periksa. Wah, kedua sabun mulai memadat dan panas sekali kardusnya. Dua belas jam kemudian kembali saya cek, kedua jenis sabun sudah memadat, walau masih empuk, dan kardusnya panas. Dua puluh empat jam kemudian kedua sabun saya keluarkan dari cetakan dan siap diangin-anginkan. Sudah padat sempurna, walau masih rapuh bagian dalamnya. Dua hingga empat minggu lagi sabun siap dikonsumsi.  

Fungsi selimut atau kain pembungkus karton sabun memang untuk menahan panas yang dihasilkan proses saponifikasi sabun. Panas ini timbul ketika terjadi reaksi kimia antara soda api dan lemak-lemak yang diikatnya. Jika panas tidak keluar dengan leluasa, proses akan berlangsung maksimal, sabun pun cepat memadat. Jika kain atau selimutnya tipis, ya jangan protes jika sabun yang dibuatnya tak juga memadat. Apalagi jika kotak sabun tadi diletakkan di lantai yang mudah sekali menyerap panas.

Catatan kaki:

Sering saya garuk-garuk kepala jika ada yang minta diajari membuat sabun namun targetnya profit. Membuat sabun seperti juga memasak atau menyulam atau ketrampilan tangan lainnya, dasarnya adalah 'passion', kecintaan atau kesukaan akan proses pengerjaan ketrampilan itu. Kalau Anda sudah menargetkan tujuan 'profit', umumnya akan kecewa. Jadi perhatikan setiap detil proses, rasakan, pelajari sifat masing-masing unsur pembuat sabun, baru Anda benar-benar menguasai ilmu sabun, Setelah itu, keuntungan akan mengikuti Anda dengan sendirinya. Kalau tidak, Anda cuma copas resep di sana-sini, lalu memanipulasi resep demi keuntungan yang besar dan mengabaikan sisi manfaat pembuatan sabun bagi tubuh. Selamat belajar :D



Tidak ada komentar: